Sabtu, 26 Maret 2016
Walisongo Itu Ada Dan Nyata
Walisongo atau walisanga dikenal sebagai penyebar agama
islam di tanah jawa pada abad ke-14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting
pantai utara pulau Jawa. Yaitu Surabaya, Gresik, Lamongan, Tuban di Jawa Timur,
Demak, Kudus, Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era walisongo adalah era berahirnya masa Hindu-Budha
dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah
simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh
lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam
mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini
lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Pada saat ini banyak orang menganggap walisongo sudah
”mati”. Hal itu memang benar terjadi, tapi sesungguhnya para kekasih Allah
tidaklah mati, mereka hanya meninggalkan wujud fisik yang fana, tetapi jiwa
mereka abadi.
Al Qur’an
dalam surat Ali Imron ayat ke 169 menegaskan :
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang
gugur di jalan Allah itu mati. bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan
mendapat rezeki.”
Kisah tentang
“kehidupan” para wali yang sudah meninggal ini bisa diantaranya dialami oleh
Gus Dur yang sering berkomunikasi dengan sejumlah wali yang telah lama
meninggal, diantaranya dengan Sunan Gunung Jati.
Mantan
sekretaris jenderal PBNU H.Arifin Junaidi mengisahkan, suatu ketika, ia
dherekke Gus Dur ke Cirebon untuk bertemu dengan KH Fuad Hasyim, pengasuh
pesantren Buntet. Usai pertemuan yang berlangsung sampai larut malam tersebut,
mereka bergerak menuju Pekalongan untuk mengunjungi Habib Lutfi bin Yahya.
Di tengah
perjalanan, tepatnya di daerah Losari, sekitar pukul 1 malam. Gus Dur meminta
sopirnya untuk kembali lagi, menuju ke makam Sunan Gunung Jati yang berada di
kompleks Astana Gunung Sembung Cirebon.
“Saya baru
saja dipanggil Sunan Gunung Jati” kata Gus Dur menjelaskan alasannya kembali ke
Cirebon.
Anggota
rombongan yang lain semuanya terdiam saja, tanpa komentar. Dan perjalanan pun
berlanjut sampai di kompleks makam. Herannya, ditengah malam buta tersebut,
para juru kunci yang ada semuanya berkumpul, lengkap, menyambut kedatangan Gus
Dur tersebut dengan memakai seragam kebesarannya yang biasa dipakai ketika
menerima tamu istimewa, seolah-olah sudah ada yang memberi tahu, padahal waktu
itu belum ada HP sebagai alat komunikasi yang canggih.
Mereka pun
langsung menuju pemakaman. Sebagaimana tradisi Nahdliyin, ketika berziarah,
mereka pun memanjatkan dzikir dan tahlil serta mendoakan Sunan Gunung Jati yang
telah berjasa menyebarkan Islam di Jawa Barat.
Usai tahlil,
Gus Dur tertunduk dan diam saja. Ia lalu keluar dari ruangan tempat dzikir
menuju halaman. Arifin masih penasaran kok para juru kunci sudah pada siap
menerima kunjungan Gus Dur, padahal sebelumnya tidak ada rencana berziarah.
Ia lalu
bertanya kepada seseorang tentang kejadian ini. “Kok sudah pada siap dan siapa
yang memberi tahu?” Dijawabnya, semua juru kunci dibangunkan malam-malam itu
juga oleh koordinatornya, dan disuruh bersiap oleh Kanjeng Sunan dengan pesan
“Cucuku mau datang ke sini.”Ia pun hanya
bisa manggut-manggut keheranan akan fenomena luar biasa ini.
Setelah
dirasa cukup ziarahnya, mereka pun kembali melanjutkan perjalanan ke Pekalongan
sebagaimana rencana semula. Karena masih penasaran, ia lalu bertanya kepada Gus
Dur, kapan dipanggil oleh Sunan Gunung Jati.
“Ya tadi,
waktu perjalanan baru dipanggil, disuruh mampir. Ke Cirebon kok ngak mampir.”
Gus Dur juga
menjelaskan, waktu dirinya terdiam seusai tahlil, ia sedang berdialog dengan
Sunan Gunung Jati, membincangkan berbagai masalah yang dihadapi oleh umat.
Jadi, hal tersebut
menjadi salah satu bukti bahwa para kekasih Allah mati
meninggalkan wujud fisik yang fana, tetapi jiwa mereka abadi.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar