Sabtu, 26 Maret 2016
Cara Sholat di Pesawat
Jika seseorang sholat di pesawat,
di kapal, di dalam bis atau kendaraan lainnya, hendaknya mempertimbangkan
hal-hal berikut ini.
1. Mempertimbangkan untuk menjamak shalat
Kalau dua sholat (Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan
Isya) bisa dijamak baik jamak takdim (di awal waktu) maupun jamak takhir (di
akhir waktu), hendaklah dijamak selama jamak tadi tidak keluar dari waktunya.
Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah li Al Buhuts Al ‘Ilmiyyah wa Al Ifta’)
ditanya, “Jika tiba waktu sholat, bolehkah kami shalat di pesawat ataukah
tidak?”
Para ulama yang ada dalam komisi tersebut menjawab,
“Jika tiba waktu sholat dan pesawat masih berada di udara dan khawatir akan
habisnya waktu bila sampai ke bandara berikutnya, para ulama sepakat akan
wajibnya menunaikan sholat (di waktunya) sesuai kemampuan. Ketika itu, ruku’,
sujud, dan menghadap kiblat dilakukan sesuai kemampuan sebagaimana disebutkan
dalam ayat,
فَاتَّقُوا
اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah pada Allah semampu kalian.”
(QS. At Taghabun: 16)
Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا
أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika diperintahkan pada
sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari no. 7288 dan
Muslim no. 1337)
Adapun jika diyakini bahwa pesawat bisa mendarat
sebelum keluar waktunya, lalu sholat tersebut bisa dikerjakan dengan kadar yang
cukup untuk menunaikannya atau sholat tersebut bisa dijamak dengan shalat
lainnya, misalnya Zhuhur dan Ashar lalu Maghrib dan Isya, atau diketahui bahwa
pesawat akan mendarat sebelum keluar waktu sholat kedua (jika shalat dijamak)
dan ketika itu shalat tersebut masih bisa ditunaikan.
Untuk kasus ini, jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bolehnya menunaikan kedua sholat
yang dijamak tadi di pesawat karena adanya perintah untuk mengerjakan shalat
tepat di waktunya.
Sedangkan ulama Malikiyah menyatakan tidak sahnya
shalat di pesawat (ketika mampu shalat tersebut di kerjakan ketika turun dan
masih dikerjakan di waktunya) karena syarat sahnya shalat adalah harus
mengerjakan shalat di atas bumi atau di atas tempat yang bersambung dengan bumi
seperti kendaraan atau perahu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Telah dijadikan bagiku bumi sebagai masjid –tempat shalat- dan
alat untuk bersuci.” Wa billahit taufiq.”
(Fatwa
Al Lajnah Ad Daimah no. 145, 5: 290)
2. Asalnya, shalat fardhu dilakukan dengan turun dari
kendaraan
Shalat fardhu diperintahkan turun dari kendaraan.
Inilah kebiasaan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Jabir bin ’Abdillah, beliau mengatakan,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ
تَوَجَّهَتْ ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraannya sesuai dengan
arah kendaraannya. Namun jika ingin melaksanakan shalat fardhu, beliau turun
dari kendaraan dan menghadap kiblat.” (HR. Bukhari no. 400).
Kondisi di kapal dan di pesawat adalah kondisi sulit
untuk turun dari kendaraan. Namun jika shalat wajib bisa dikerjakan dengan
turun dari kendaraan, maka itu yang diperintahkan. Sehingga jika shalat wajib
itu bisa dilakukan dengan turun dari kendaraan dengan cara dijamak dengan
shalat sebelum atau sesudahnya, maka baiknya shalat tersebut dijamak.
Akan tetapi, jika khawatir keluar waktu shalat atau
shalat tersebut tidak bisa dijamak, maka tetap yang jadi pilihan adalah shalat
wajib tersebut dikerjakan di atas kendaraan. Tidak boleh sama sekali shalat
tersebut diakhirkan. Semisal shalat Shubuh yang waktunya sempit, tetap harus
dilaksanakan di atas kapal atau pesawat.
Melaksanakan shalat di atas kapal dihukumi sah menurut
kesepakatan para ulama karena kapal sudah ada sejak masa silam. Sedangkan
mengenai shalat di pesawat tersirat dari perkataan Imam Nawawi dalam
kitab Al Majmu’, beliau berkata, “Shalat seseorang itu sah
walau ia berada di atas ranjang di udara.” (Al Majmu’, 3: 214).
Sehingga dari perkataan beliau ini diambil hukum bolehnya shalat di atas
pesawat, berbeda halnya dengan pendapat ulama Malikiyyah yang disebutkan
sebelumnya.
3. Dilakukan
dengan berdiri jika mampu
Berdiri bagi yang mampu merupakan rukun dalam
shalat fardhu. Dalilnya adalah hadits dari ‘Imron bin Hushoin yang punya
penyakit bawasir. Ia menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai
shalatnya. Beliau pun bersabda,
صَلِّ
قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى
جَنْبٍ
“Shalatlah sambil berdiri. Jika
tidak mampu, maka sambil duduk. Jika tidak mampu, maka sambil berbaring (ke
samping).” (HR. Bukhari no. 1117). Jika ketika shalat
di pesawat atau kapal berdiri saat itu tidak mampu, maka shalat sambil duduk
sebagai gantinya. (Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 144)
Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia ditanya,
“Bolehkah shalat di pesawat sambil duduk karena malas, padahal sebenarnya mampu
melakukan dengan berdiri?”
Jawab para ulama di sana, “Tidak boeh shalat
sambil duduk di pesawat, juga di kendaraan lainnya ketika mampu untuk berdiri.
Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَقُومُوا
لِلَّهِ قَانِتِينَ
“Berdirilah untuk Allah (dalam
shalatmu) dengan khusyu’” (QS. Al Baqarah: 238).
Dalam hadits dari ‘Imran bin Hushain juga
disebutkan, “Shalatlah sambil berdiri. Jika tidak mampu,
maka sambil duduk. Jika tidak mampu, maka sambil berbaring (ke samping).” Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya. Kemudian
ditambahkan pula, “Jika tidak mampu maka shalatlah sambil
terlentang.” Wa billahit taufiq. (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah
no. 12087, pertanyaan no. 7)
4. Menghadap
kiblat saat shalat wajib
Menghadap kiblat saat shalat fardhu termasuk
syarat shalat. Adapun dalam shalat sunnah di atas kendaraan bisa jadi gugur
menghadap kiblat. Namun tetap disunnahkan ketika takbiratul ihram menghadap
kiblat sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik, ia berkata,
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا سَافَرَ فَأَرَادَ أَنْ
يَتَطَوَّعَ اسْتَقْبَلَ بِنَاقَتِهِ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ ثُمَّ صَلَّى حَيْثُ
وَجَّهَهُ رِكَابُهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah bersafar dan ingin melaksanakan shalat sunnah lantas beliau
mengarahkan kendaraannya ke arah kiblat. Kemudian beliau bertakbir, lalu beliau
shalat sesuai arah kendaraannya.” (HR. Abu Daud
no. 1225. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Adapun dalam
shalat fardhu, menghadap kiblat merupakan syarat.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin
berkata, “Penumpang pesawat jika ingin mengerjakan shalat sunnah, maka ia
shalat ke arah mana pun, tidak wajib baginya menghadap kiblat. Karena ada
hadits shahih yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melaksanakan shalat di atas kendaraannya saat safar dengan menghadap arah mana
pun.
Adapun untuk shalat fardhu, wajib menghadap
kiblat. Ketika itu juga tetap melakukan ruku’ dan sujud jika memungkinkan. Jika
mampu melakukan seperti itu, maka boleh melakukan shalat di pesawat. Namun jika
shalat tersebut bisa dijamak dengan shalat sesudahnya, seperti jika masuk waktu
Zhuhur dan shalat tersebut bisa dijamak dengan shalat Ashar atau shalat Maghrib
dijamak dengan shalat Isya, maka lebih baik dilakukan jamak takhir.
Hendaklah penumpang bertanya pada petugas di
pesawat mengenai arah kiblat jika memang di dalam pesawat tidak ada petunjuk
arah kiblat. Jika tidak mencari arah kiblat lebih dahulu, shalatnya tidak sah.”
(Majalah Ad Da’wah no. 1757 hal. 45, dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wa Jawab
no. 82536)
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid
menyebutkan, “Jika tidak mampu berdiri dan tidak mampu menghadap kiblat, maka
shalatnya sah. Namun jika mampu untuk berdiri dan menghadap kiblat, namun tidak
dilakukan, shalatnya tidaklah sah.”
5. Shalatnya
diqashar sebagaimana shalat bagi musafir
6- Tetap bersuci dengan berwudhu. Jika tidak ada air, baru beralih pada tayamum.
Allah Ta’ala membolehkan tayamum ketika tidak ada air,
فَلَمْ
تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ
وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
“Lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al Maidah: 6)
Penulis Kifayatul Akhyar di halaman 96 menyatakan bahwa kita
diperintahkan untuk tayamum ketika tidak ada air. Tidak adanya air adalah
setelah mencari. Disyaratkan untuk mencari jika sudah masuk waktu shalat karena
waktu tersebut waktu darurat.
Tayamum adalah dengan menggunakan debu atau
pasir yang ditemui di pesawat, tidak cukup mengusap pada jok atau tempat duduk
pesawat padahal mulus, tidak ada debu.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan,
“Sho’id adalah sesuatu yang muncul pada permukaan bumi. Ini umum mencakup apa
saja yang berada di permukaan. Hal ini berdasarkan dalil firman Allah Ta’ala,
وَإِنَّا
لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan
menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi sho’id yang rata lagi tandus.”
(QS. Al Kahfi: 8)” (Majmu’ah Al Fatawa, 21: 365)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
bertayamum dengan tanah tempat beliau shalat, baik itu debu, tanah berair
(lembab) atau pasir.” (Mukhtashor Zaadil Ma’ad, hal. 12)
Tata cara tayamum yang shahih dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah:
- Menetup telapak
tangan ke sho’id (contoh: debu) sekali tepukan.
- Meniup kedua tangan tersebut.
- Mengusap wajah sekali.
- Mengusap punggung telapak tangan sekali.
Dalil pendukung dari tata cara di atas dapat
dilihat dalam hadits ‘Ammar bin Yasir berikut ini.
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّى أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ
الْمَاءَ . فَقَالَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَمَا
تَذْكُرُ أَنَّا كُنَّا فِى سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ
، وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِىِّ – صلى الله
عليه وسلم – فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّمَا كَانَ
يَكْفِيكَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِكَفَّيْهِ
الأَرْضَ ، وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ
Ada seseorang mendatangi ‘Umar bin Al
Khottob, ia berkata, “Aku junub dan tidak bisa menggunakan air.” ‘Ammar bin
Yasir lalu berkata pada ‘Umar bin Khottob mengenai kejadian ia dahulu, “Aku
dahulu berada dalam safar. Aku dan engkau sama-sama tidak boleh shalat. Adapun
aku kala itu mengguling-gulingkan badanku ke tanah, lalu aku shalat. Aku pun
menyebutkan tindakanku tadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas
beliau bersabda, “Cukup bagimu melakukan seperti ini.” Lantas beliau shallallahu
‘alaihi wa sallammencontohkan dengan menepuk kedua telapak
tangannya ke tanah, lalu beliau tiup kedua telapak tersebut, kemudian beliau
mengusap wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Bukhari no. 338 dan Muslim no.
368)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar