Jumat, 25 Maret 2016
Biografi Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gud Dur)
1.
Biografi Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gud Dur).
Mantan Presiden Keempat
Indonesia ini lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dari pasangan
Wahid Hasyim dan Solichah. Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan
pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI setelah
dipilih MPR hasil Pemilu 1999.
Beliau menjabat
Presiden RI dari 20 Oktober 1999 hingga Sidang Istimewa MPR 2001. Beliau lahir
dengan nama Abdurrahman Addakhil atau "Sang Penakluk", dan kemudian
lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan
kehormatan khas pesantren kepada anak kiai.
Gus Dur adalah putra
pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam
komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah
pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syamsuri,
adalah pengajar pesantren.
Ayah Gus Dur, KH Wahid
Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada 1949.
Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Setelah deklarasi
kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan
tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Akhir
1949, dia pindah ke Jakarta setelah ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Dia
belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.
Gus Dur juga diajarkan
membaca buku non Islam, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas
pengetahuannya. Pada April 1953, ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan
mobil.
Pendidikannya berlanjut
pada 1954 di Sekolah Menengah Pertama dan tidak naik kelas, tetapi bukan karena
persoalan intelektual. Ibunya lalu mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan
pendidikan. Pada 1957, setelah lulus SMP, dia pindah ke Magelang untuk belajar
di Pesantren Tegalrejo. Beliau mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat,
menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat
tahun).
Pada 1959, Gus Dur
pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang dan mendapatkan pekerjaan pertamanya
sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan Horizon dan
Majalah Budaya Jaya. Pada 1963, Wahid menerima beasiswa dari Departemen Agama
untuk belajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, namun tidak
menyelesaikannya karena kekritisan pikirannya. Gus Dur lalu belajar di
Universitas Baghdad. Meskipun awalnya lalai, Gus Dur bisa menyelesaikan
pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970.
Beliau pergi ke Belanda
untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi
kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui di sini. Gus Dur lalu
pergi ke Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971.
Gus Dur kembali ke Jakarta
dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan
Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif
dan sosial demokrat.
LP3ES mendirikan
majalah Prisma di mana Gus Dur menjadi salah satu kontributor utamanya dan
sering berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Saat inilah beliau memprihatinkan
kondisi pesantren karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur
akibat perubahan dan kemiskinan pesantren yang beliau lihat.
Beliau kemudian batal
belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren. KH.Abdurrahman
Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk Tempo dan Kompas.
Artikelnya diterima baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator
sosial.
Dengan popularitas itu,
ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, sehingga
dia harus pulang-pergi Jakarta dan Jombang. Pada 1974, Gus Dur mendapat
pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas. Satu tahun
kemudian, Gus Dur menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.
Pada 1977, dia
bergabung di Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktik dan
Kepercayaan Islam, dengan mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat
Islam dan misiologi.
Beliau lalu diminta
berperan aktif menjalankan NU dan ditolaknya. Namun, Gus Dur akhirnya menerima
setelah kakeknya, Bisri Syansuri, membujuknya. Karena mengambil pekerjaan ini,
Gus Dur juga memilih pindah dari Jombang ke Jakarta.
Abdurrahman Wahid mendapat
pengalaman politik pertamanya pada pemilihan umum legislatif 1982, saat
berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan empat partai
Islam termasuk NU.
1. Reformasi NU
NU membentuk Tim Tujuh
(termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan
kembali NU. Pada 2 Mei 1982, para pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU
Idham Chalid dan memintanya mengundurkan diri. Namun, pada 6 Mei 1982, Gus Dur
menyebut pilihan Idham untuk mundur tidak konstitusionil.
Gus Dur mengimbau Idham
tidak mundur. Pada 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa
jabatan keempat oleh MPR dan mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila
sebagai ideologi negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi
bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu
ini.
Gus Dur lalu
menyimpulkan NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih
menghidupkan kembali NU, dia mengundurkan diri dari PPP dan partai politik agar
NU fokus pada masalah sosial. Pada Musyawarah Nasional NU 1984, Gus Dur
dinominasikan sebagai ketua PBNU dan dia menerimanya dengan syarat mendapat
wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan bekerja di bawahnya.
Terpilihnya Gus Dur
dilihat positif oleh Suharto. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan
dengan citra moderatnya menjadikannya disukai pemerintah. Pada 1987, dia
mempertahankan dukungan kepada rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan
umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar. Ia menjadi anggota MPR dari
Golkar. Meskipun disukai rezim, Gus Dur acap mengkritik pemerintah, diantaranya
proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai Bank Dunia. Ini merenggangkan hubungannya
dengan pemerintah dan Suharto.
Selama masa jabatan
pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil
meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga menandingi sekolah
sekular. Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua PBNU pada
Musyawarah Nasional 1989. Saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran
politik dengan ABRI, berusaha menarik simpati Muslim.
Pada Desember 1990,
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati
intelektual muslim di bawah dukungan Soeharto dan diketuai BJ Habibie. Pada
1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung, tapi ditolaknya karena
dianggap sektarian dan hanya membuat Soeharto kian kuat.
Bahkan pada 1991, Gus
Dur melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi terdiri dari 45
intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Pada Maret 1992, Gus
Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66
dan merencanakan acara itu dihadiri paling sedikit satu juta anggota NU.
Soeharto menghalangi
acara tersebut dengan memerintahkan polisi mengusir bus berisi anggota NU
begitu tiba di Jakarta. Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto
menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka,
adil dan toleran.
Menjelang Musyawarah
Nasional 1994, Gus Dur menominasikan diri untuk masa jabatan ketiga. Kali ini
Soeharto menentangnya. Para pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko,
berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur.
3.
Penghargaan Gusdur
Pada 1993, Gus Dur
menerima Ramon Magsaysay Award, penghargaan cukup prestisius untuk kategori
kepemimpinan sosial. Dia ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh
beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, pada 10
Maret 2004. Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif
Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis dinilai
memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan
berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia.
Beliau mendapat
penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di
bidang penegakan HAM karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli
persoalan HAM. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor
di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas.
Beliau juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan namanya
diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic
Study.
Gus Dur memperoleh
banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lebaga
pendidikan, yaitu:
• Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan
dari Netanya University, Israel (2003)
• Doktor Kehormatan bidang Hukum dari
Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
• Doktor Kehormatan dari Sun Moon
University, Seoul, Korea Selatan (2003)
• Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai
University, Tokyo, Jepang (2002)
• Doktor Kehormatan bidang Filsafat
Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
• Doktor Kehormatan dari Asian
Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
• Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum
dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon
Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
• Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn
University, Bangkok, Thailand (2000)
• Doktor Kehormatan dari Twente
University, Belanda (2000)
• Doktor Kehormatan dari Jawaharlal
Nehru University, India (2000)
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar