Sabtu, 26 Maret 2016
Walisongo Itu Ada Dan Nyata
Walisongo atau walisanga dikenal sebagai penyebar agama
islam di tanah jawa pada abad ke-14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting
pantai utara pulau Jawa. Yaitu Surabaya, Gresik, Lamongan, Tuban di Jawa Timur,
Demak, Kudus, Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era walisongo adalah era berahirnya masa Hindu-Budha
dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah
simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh
lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam
mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini
lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Pada saat ini banyak orang menganggap walisongo sudah
”mati”. Hal itu memang benar terjadi, tapi sesungguhnya para kekasih Allah
tidaklah mati, mereka hanya meninggalkan wujud fisik yang fana, tetapi jiwa
mereka abadi.
Al Qur’an
dalam surat Ali Imron ayat ke 169 menegaskan :
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا
فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang
gugur di jalan Allah itu mati. bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan
mendapat rezeki.”
Kisah tentang
“kehidupan” para wali yang sudah meninggal ini bisa diantaranya dialami oleh
Gus Dur yang sering berkomunikasi dengan sejumlah wali yang telah lama
meninggal, diantaranya dengan Sunan Gunung Jati.
Mantan
sekretaris jenderal PBNU H.Arifin Junaidi mengisahkan, suatu ketika, ia
dherekke Gus Dur ke Cirebon untuk bertemu dengan KH Fuad Hasyim, pengasuh
pesantren Buntet. Usai pertemuan yang berlangsung sampai larut malam tersebut,
mereka bergerak menuju Pekalongan untuk mengunjungi Habib Lutfi bin Yahya.
Di tengah
perjalanan, tepatnya di daerah Losari, sekitar pukul 1 malam. Gus Dur meminta
sopirnya untuk kembali lagi, menuju ke makam Sunan Gunung Jati yang berada di
kompleks Astana Gunung Sembung Cirebon.
“Saya baru
saja dipanggil Sunan Gunung Jati” kata Gus Dur menjelaskan alasannya kembali ke
Cirebon.
Anggota
rombongan yang lain semuanya terdiam saja, tanpa komentar. Dan perjalanan pun
berlanjut sampai di kompleks makam. Herannya, ditengah malam buta tersebut,
para juru kunci yang ada semuanya berkumpul, lengkap, menyambut kedatangan Gus
Dur tersebut dengan memakai seragam kebesarannya yang biasa dipakai ketika
menerima tamu istimewa, seolah-olah sudah ada yang memberi tahu, padahal waktu
itu belum ada HP sebagai alat komunikasi yang canggih.
Mereka pun
langsung menuju pemakaman. Sebagaimana tradisi Nahdliyin, ketika berziarah,
mereka pun memanjatkan dzikir dan tahlil serta mendoakan Sunan Gunung Jati yang
telah berjasa menyebarkan Islam di Jawa Barat.
Usai tahlil,
Gus Dur tertunduk dan diam saja. Ia lalu keluar dari ruangan tempat dzikir
menuju halaman. Arifin masih penasaran kok para juru kunci sudah pada siap
menerima kunjungan Gus Dur, padahal sebelumnya tidak ada rencana berziarah.
Ia lalu
bertanya kepada seseorang tentang kejadian ini. “Kok sudah pada siap dan siapa
yang memberi tahu?” Dijawabnya, semua juru kunci dibangunkan malam-malam itu
juga oleh koordinatornya, dan disuruh bersiap oleh Kanjeng Sunan dengan pesan
“Cucuku mau datang ke sini.”Ia pun hanya
bisa manggut-manggut keheranan akan fenomena luar biasa ini.
Setelah
dirasa cukup ziarahnya, mereka pun kembali melanjutkan perjalanan ke Pekalongan
sebagaimana rencana semula. Karena masih penasaran, ia lalu bertanya kepada Gus
Dur, kapan dipanggil oleh Sunan Gunung Jati.
“Ya tadi,
waktu perjalanan baru dipanggil, disuruh mampir. Ke Cirebon kok ngak mampir.”
Gus Dur juga
menjelaskan, waktu dirinya terdiam seusai tahlil, ia sedang berdialog dengan
Sunan Gunung Jati, membincangkan berbagai masalah yang dihadapi oleh umat.
Jadi, hal tersebut
menjadi salah satu bukti bahwa para kekasih Allah mati
meninggalkan wujud fisik yang fana, tetapi jiwa mereka abadi.
Jumat, 25 Maret 2016
Ilmu Dunia, Engkau Lebih Paham
Untuk ilmu dunia, engkau lebih paham. Beda dengan ilmu
agama, kita harus bertanya pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seringkali kita mendengar pertanyaan, mengapa harus
dibeda-bedakan antara ilmu syar’i dengan ilmu dunia? Bukankah keduanya berasal
dan bersumber dari ilmu Allah Ta’ala? Bukankah ilmu dunia juga penting
dipelajari untuk kemaslahatan kaum muslimin? Demikian pula kita dapati sebagian
orang yang menyampaikan dalil-dalil tentang keutamaan ilmu, baik dalil Al-Qur’an
maupun As-Sunnah, namun untuk mendorong orang agar semangat belajar dan meraih
ilmu dunia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih tahu
tentang ilmu dunia dibandingkan para shahabatnya.
Di antara buktinya adalah hadits dari Anas tentang
mengawinkan kurma. Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati
sahabatnya yang sedang mengawinkan kurma. Lalu beliau bertanya, “Apa ini?” Para
sahabat menjawab, “Dengan begini, kurma jadi baik, wahai Rasulullah!” Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,
لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ
“Seandainya kalian tidak melakukan seperti itu pun,
niscaya kurma itu tetaplah bagus.” Setelah beliau berkata seperti itu, mereka
lalu tidak mengawinkan kurma lagi, namun kurmanya justru menjadi jelek. Ketika
melihat hasilnya seperti itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
مَا لِنَخْلِكُمْ
“Kenapa kurma itu bisa jadi jelek seperti ini?” Kata
mereka, “Wahai Rasulullah, Engkau telah berkata kepada kita begini dan begitu…”
Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ
دُنْيَاكُمْ
“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” (HR. Muslim, no.
2363)
Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak lebih tahu tentang ilmu pengobatan.
عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: مَرِضْتُ
مَرَضًا أَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي
فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ ثَدْيَيَّ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَهَا عَلَى فُؤَادِي
فَقَالَ: «إِنَّكَ رَجُلٌ مَفْئُودٌ، ائْتِ الْحَارِثَ بْنَ كَلَدَةَ أَخَا
ثَقِيفٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ يَتَطَبَّبُ فَلْيَأْخُذْ سَبْعَ تَمَرَاتٍ مِنْ
عَجْوَةِ الْمَدِينَةِ فَلْيَجَأْهُنَّ بِنَوَاهُنَّ ثُمَّ لِيَلُدَّكَ بِهِنَّ
“Dari sahabat Sa’ad mengisahkan, pada suatu hari aku
menderita sakit, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku,
beliau meletakkan tangannya di tengah dadaku, sampai-sampai jantungku merasakan
sejuknya tangan beliau. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Engkau
menderita penyakit jantung. Temuilah Al-Harits bin Kaladah dari Bani Tsaqif,
karena sesungguhnya dia adalah seorang tabib (dokter). Dan hendaknya dia
(Al-Harits bin Kaladah) mengambil tujuh buah kurma ‘ajwah, kemudian ditumbuk
beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya.” (HR. Abu Daud, no.
3875. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if)
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengetahui ramuan obat apa yang sebaiknya diminum. Akan tetapi beliau
meminta sahabat Sa’ad radhiyallahu ‘anhu agar membawanya ke Al-Harits bin
Kaladah karena ia adalah seorang dokter kala itu.
Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
hanya mengetahui ramuan obat secara umum saja. Adapun Al-Harits bin Kaladah,
sebagai seorang dokter, ia mengetahui lebih detail komposisi, cara meracik,
kombinasi dan indikasinya.
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih tahu dibandingkan para sahabatnya
tentang ilmu dunia.
Andai saja, kalau yang dimaksud dengan dalil-dalil
Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang keutamaan ilmu dan pahala bagi para penuntut
ilmu adalah ilmu dunia, lalu bagaimana mungkinRasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak menjadi yang terdepan dalam hal ini? Dan justru kalah dari para
shahabatnya?
* Diambil dari buku “Mahasantri” karya M. Abduh Tuasikal
dan M. Saifudin Hakim, yang diterbitkan oleh Pustaka Muslim
Bagaimana Engkau Memandang Gurumu?
Secara etimologis, guru sering disebut pendidik. Dalam bahasa arab, ada
beberapa kata yang menunjukan profesi ini seperti, mudarris, mua’allim,
murabbidan mu’addib, yang meski memiliki makna yang sama,
namun masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda. Disamping
kata-kata tersebut, juga sering digunakan kata ustadz atau syaikh.
Penyebutan ini tidak terlepas dari rekomendasi Konferensi Pendidikan
Internasional di Makkah pada tahun 1977, yang antara lain merekomendaikan bahwa
pengertian pendidikan mencakup tiga pengertian, yaitutarbiyah, ta’lim dan
ta’dib. Maka pengertian guru atau pendidik mencakupmurabbi,
mu’allim dan mu’addib.
Pengertian Murabbi mengisyaratkan
bahwa guru adalah orang yang memiliki sifat rabbani, artinya
orang yang bijaksana, bertanggungjawab, berkasih sayang terhadap siswa dan
mempunyai pengetahuan tentang rabb. Dalam pengertianmu’allim, ia
mengandung arti bahwa guru adalah orang berilmu yang tidak hanya menguasai ilmu
secara teoretik tetapi mempunyai komitmen yang tinggi dalam mengembangkan ilmu
yang dimilikinya. Sedangkan dalam konsep ta’dib, terkandung
pengertian integrasi antara ilmu dan amal sekaligus.
Secara terminologi,
guru sering diartikan sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan
siswa dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi (fithrah) siswa,
baik potensi kignitif, potensi apektif, maupun potensi psikomotorik. Guru juga
berarti orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan pertolongan pada siswa
dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai tingkat kedewasaan,
mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai hamba (‘abd) dan
khalifah Allah (khalifatullah) dan mampu sebagai makhluk sosial dan
sebagai makhluk individual yang mandiri.
Lalu bagaimana
sesorang siswa/santri memandang gurunya?
Al Imam Ali bin
Hasan al Aththas mngatakan :
ﺍﻥ ﺍﻟﻤﺤﺼﻮﻝ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﺍﻟﻔﺘﺢ ﻭﺍﻟﻨﻮﺭ ﺍﻋﻨﻲ ﺍﻟﻜﺸﻒ ﻟﻠﺤﺠﺐ، ﻋﻠﻰ ﻗﺪﺭ ﺍﻻﺩﺏ ﻣﻊ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻭﻋﻠﻰ
ﻗﺪﺭ ﻣﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﻛﺒﺮ ﻣﻘﺪﺍﺭﻩ ﻋﻨﺪﻙ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻚ ﺫﺍﻟﻚ ﺍﻟﻤﻘﺪﺍﺭ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺷﻚ
" Memperoleh ilmu, futuh dan cahaya (maksudnya terbukanya hijab2
batinnya), adalah sesuai kadar adabmu bersama gurumu. Kadar besarnya gurumu di
hatimu, maka demikian pula kadar besarnya dirimu di sisi Allah tanpa ragu
".(al Manhaj as Sawiy : 217)
Imam Nawawi ketika hendak belajar kepada gurunya, beliau selalu bersedekah di perjalanan dan berdoa, " Ya Allah, tutuplah dariku kekurangan guruku, hingga mataku tidak melihat kekurangannya dan tidak seorangpun yg menyampaikan kekurangan guruku kepadaku ". (Lawaqih al Anwaar al Qudsiyyah : 155)
Beliau pernah mengatakan dalam kitab At Tahdzibnya :
ﻋﻘﻮﻕ ﺍﻟﻮﺍﻟﺪﻳﻦ ﺗﻤﺤﻮﻩ ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﻭﻋﻘﻮﻕ ﺍﻻﺳﺘﺎﺫﻳﻦ ﻻ ﻳﻤﺤﻮﻩ
ﺷﻲﺀ ﺍﻟﺒﺘﺔ
" Durhaka kepada orang tua dosanya bisa hapus
oleh taubat, tapi durhaka kepada ustadzmu tidak ada satupun yg dapat
menghapusnya ".
Habib Abdullah al Haddad mengatakan " Paling bahayanya bagi seorang murid, adalah berubahnya hati gurunya kepadanya. Seandainya seluruh wali dari timur dan barat ingin memperbaiki keadaan si murid itu, niscaya tidak akan mampu kecuali gurunya telah ridha kembali ". (Adaab Suluk al Murid : 54)
Seorang murid sedang menyapu madrasah gurunya, tiba2 Nabi Khidir mendatanginya. Murid itu tidak sedikitpun menoleh dan mengajak bicara nabi Khudhir. Maka nabi Khidhir berkata, " Tidakkah kau mengenalku ?. Murid itu menjawab, " ya aku mengenalmu, engkau adalah Abul Abbas al Khidhir ".Nabi Khidhir, " kenapa kamu tidak meminta sesuatu dariku ?".
Murid itu menjawab, " Guruku sudah cukup
bagiku, tidak tersisa satupun hajat kepadamu ". (Kalam al Habib Idrus al
Habsyi : 78)
Al Habib Abdullah al Haddad berkata, " Tidak
sepatutnya bagi penuntut ilmu mengatakan pada gurunya, " perintahkan aku
ini, berikan aku ini !", karena itu sama saja menuntut untuk dirinya. Tapi
sebaiknya dia seperti mayat di hadapan orang yg memandikannya ". (Ghoyah
al Qashd wa al Murad : 2/177)
Para ulama ahli hikmah mengatakan, " Barangsiapa yang mengatakan " kenapa ?" Kepada gurunya, maka dia tidak akan bahagia selamanya ". (Al Fataawa al Hadiitsiyyah : 56)
Para ulama hakikat mengatakan, " 70% ilmu itu diperoleh sebab kuatnya hubungan ( batin,adab dan baik sangka )antara murid dengan gurunya ".
Semoga kita semua termasuk murid yang baik dan mendapat berkah dari guru kita
اللهم آمين
Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri
Pesantren Hasyim
Asy’ari Bangsri, terletak di tengah-tengah pemukiman penduduk di kota Jepara
kecamatan Bangsri. Pesantren ini didirikan pada tahun 1956 oleh KH. Mc. Amin
Sholeh, setelah wafatnya beliau pada 19 November 2002 M, ponpes dipimpin secara
kolektif oleh Hj. Aizzah Amin Sholeh, KH Nuruddin Amin, S.Ag, Hj. Hindun
Annisah, MA, H. Zainal Umam, Lc, dan Ikfina Maufuriyah, SS.
Jumlah santrinya saat
ini ada 1.760 orang. Dengan perincian siswa MA, putra 384 santri, putri 502
santri, siswa MTs putra 374 santri, putri 876 santri. Sedangkan jumlah santri
mukim adalah: putra 73 santri, putri 98 santri, jumlah totalnya 171 santri.
Tenaga pendidik/ustadz/ustadzah-nya berjumlah 135 orang.
Semua santri tidak
bermukim dikarenakan lahan pesantren yang tidak besar dan luas. Maka sebagian
dari santri tinggal di pesantren-pesantren yang ada di sekitar Pon Pes Hasyim
Asy’ari.
Pondok pesantren Hasyim
Asy’ari mempunyai dua cabang, yaitu HA cabang PUSAT yang bertempat di kompleks
Mts Hasyim Asy’ari diasuh oleh KH. Zaenal Umam, Lc dan HA cabang JOGLO (khusus
putri) yang baru di bangun pada 2012 . Bertempat di sebelah barat MA Hasyim
Asy’ari diasuh langsung oleh kakaknya KH Nuruddin Amin (Gus Nung).
Sebagai pesantren yang
cukup tua dan disegani, pesantren ini cukup berpengaruh di wilayah Kabupaten
Jepara dan sekitarnya. Hal itu ditambah dengan kedudukan almarhum KH.Mc Amin
Sholeh yang pernah menjadi Rois Syuriah PW NU Jawa Tengah dan Ketua MUI Jateng
serta kedudukan KH Nuruddin Amin (Gus Nung) yang pernah menjaadi Ketua Umum PC
NU Jepara. Serta ketua DPC PKB kabupaten Jepara sekarang ini.
Tidak heran, jika
banyak pejabat tinggi dan tokoh pemerintahan yang sowan dan minta doa restu ke
pimpinan pesantren ini. Bahkan, dalam beberapa kali kesempatan, beberapa menteri
Republik Indonesia datang ke pesantren ini. Menteri Agama RI, juga pernah
datang ke pesantren ini untuk meresmikan gedung Madrasah Aliyah, begitu juga
dengan Menteri Koperasi dan UKM.
Untuk pengeluaran dan
pemasukan rutin per bulan, pesantren ini tidak terlalu menekankan pendapatan
dari pemasukan atau iuran wajib para santri. Biaya yang dibebankan untuk santri
putra adalah Rp 40.000,- per bulan sebagai ganti biaya listrik, sedangkan untuk
makan dan minum, mereka dipersilahkan untuk membeli sendiri di kantin pesantren
atau di luar.
Sedangkan untuk santri
putri, selain iuran listrik yang Rp 40.000,-, ditambah lagi dengan biaya makan
sebesar Rp 135.000,-. Untuk santri putri memang diwajibkan untuk makan di
pesantren. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi agar mereka waktunya tidak
habis untuk mencari makanan di luar dan agar lebih konsentrasi belajar.
Model pembelajaran yang
diadakan di pesantren ini ada semi modern. Artinya, tetap ada sistem sorogan
dan bandongan di pagi hari dan malam hari dengan mengaji Al-Qur’an, tapi para
santrinya juga mengikuti pendidikan di tingkat MTs dan MA. Untuk kelas pagi
hari setelah Shubuh, diadakan pengajian kitab yang wajib diikuti oleh para
santri.
Kitab-kitab yang dikaji
adalah: Irsyadul Ibad yang dibawakan oleh KH. Nuruddin Amin, Fiqhun Nisa’ oleh
Hj. Hindun Anisah, danTafsir Jalalain oleh H. Zaenal Umam, Lc. Selain itu, juga
diadakan pengajian sorogan Al-Qur’an dibawah bimbingan Hj. Azizah Amin yang
merupakan Ibunda dari KH Nuruddin Amin, serta program tahfidzul qur’an yang
diasuh oleh Hj. Hindun Anisah,dan Ikfina Maufuriyah SS bagi santri putri, dan
Ustadz Ahmad Mutohar, Ustadz Mushonnif
serta Ustadz Hayat Misbah bagi santri laki-laki.
Setelah usai pelajaran
di MTs dan MA, para santri juga diwajibkan untuk mengikuti Madrasah Diniyyah.
Untuk kurikulum Madrasah Diniyyah ini, pesantren Hasyim Asy’ari tidak mengikuti
kurikulum yang diberikan Depag secara penuh, tapi ada modifikasi dan
tambahan-tambahan yang bermanfaat untuk kemajuan santri. Mengingat pada
kebutuhan keilmuan santrilah yang membuat para pengasuh PP Hasyim Asy’ari untuk
membuat kurikulum tersendiri.
Pesantren ini juga
sangat dekat dengan masyarakat setempat, mereka sengaja tidak membangun masjid
sendiri karena untuk menghindari eklusifitas. Untuk beribadah, mereka
bersama-sama dengan masyarakat menggunakan Masjid Besar An-Nur yang berada di
sebelah barat pesantren. Di masjid inilah, banyak aktifitas santri yang
dilakukan, mulai dari pengajian Al-Qur’an, Kitab-kitab salaf, hingga semaan dan
tahlilan.
Bahkan untuk melatih
para santri mambaca Diba’, Barjanzi juga bersama-sama dengan masyarakat di
masjid besar An-Nur bangsri. Pengajian rutin juga diadakan di masjid ini, yang
kadang-kadang diisi oleh pimpinan dan ustadz pesantren juga. Pesantren juga
sering dilibatkan dalam kegiatan kemasyarakatan dan sebaliknya pesantren juga
sering melibatkan masyarakat dalam kegiatan pesantren. Usaha saling membantu
dan bekerjasama mereka lakukan dalam bentuk-bentuk kegiatan seperti: keagamaan,
rapat desa, kerja bakti, pengajian, bersih desa, dan gotong royong lainnya.
Pesantren ini juga
aktif membangun hubungan dengan pesantren lainnya. Bersama-sama dengan
pesantren sekitar dan pesantren luar daerah, mereka berusaha memperjuangkan
agar pendidikan umat Islam maju dan mendapatkan perhatian dari masyarakat lain,
baik Pemda maupun tokoh lainnya. Pesantren ini juga aktif mengikuti kegiatan
Bahtsul Masail baik di tingkat NU Cabang Jepara maupun di tingkat PW NU Jawa
Tengah.
Pondok pesantren Hasyim
Asy’ari juga mendirikan sekolah-sekolah formal untuk para santri dan juga
masyarakat sekitar, mulai dari PAUD Averrous, MTs serta MA. Adapun MA Hasyim
Asy’ari mamiliki beberapa jurusan seperti MAK (jurusan yang bahasa pengantarnya
memakai bahasa arab, Imersi (jurusan yang bahasa pengantarnya memakai bahasa
inggris untuk 7 mata pelajaran (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Sejarah,
Geografi dan Ekonomi)), jurusan IPA dan juga IPS. Selain pendidikan, PP. Hasyim
Asy’ari juga mengelola badan usaha yaitu Koperasi Al-Barokah.
*dikutip dari berbagai
sumber
Mengenal Lebih Dalam KH.Mc Amin Sholeh Bangsri
KH.Mc Amin Sholeh yang
disapa “Abah” oleh para santrinya itu lahir Tayu, Pati 20 April 1931. Kiai Amin
adalah salah seorang putra Kiai Saleh yang sangat terkenal di kalangan ulama
terutama di Jawa Tengah, yaitu KH.Sholeh Amin Tayu. Namun tidak seperti
kebanyakan putra kiai terkenal yang lain, Kiai Amin tidak pernah diceritakan
mempunyai sikap yang neka-neka. Dia
memang contoh kiai sederhana yang "lurus-lurus" saja. Attawassuth
wal i'tidaal, sikap sederhana dan jejeg seperti digariskan
Khittah Nahdlatul Ulama, dijalaninya secara murni dan konsekuen.
Ketika masih nyantri di Lasem, Kiai Amin
Sholeh tidak mondok di pesantren milik Kiai Baidlowi, tapi kiai sepuh
karismatik itu menyuruhnya mulang (ngajar) di pesantrennya. Begitu kisah Kiai Maemoen Zubeir
yang ketika itu sama-sama nyantri di Lasem saat memberi mau'idhah
hasanah pada upacara pelepasan jenazah Rais NU Wilayah dan Ketua MUI
Jawa Tengah itu di hadapan ribuan pelayat.
Mbah Baidlowi Lasem, bersama Mbah Maksum,
adalah tokoh kiai sepuh yang sangat disegani, karena ilmu dan amaliahnya. Kiai
yang sangat dihormati para kiai lain tidak hanya di Jawa Tengah saja itu
meminta Kiai Amin (yang notabene waktu itu masih berstatus nyantri) untuk
mengajar di pesantrennya, sudah bisa menunjukkan kapasitas keilmuan tokoh
sederhana dari Bangsri itu.
Di banyak konferensi dan muktamar, beliau
selalu aktif mengikuti acara-acaranya. Biasanya beliau selalu hadir dan
berperan di arena Bahtsul Masail, majelis yang membahas pertanyaan-pertanyaan
masyarakat. Di arena seperti itu, Kiai Amin kelihatan mencolok karena vokalnya
dalam menyampaikan pendapat dan argumentasi.
Beliau akan mempertahankan pendapatnya
sesuai dengan hujjah yang dimilikinya namun tidak ngotot. Apabila
ada kiai lain yang hujjah-nya dianggap lebih kuat, dengan kesatria
kiai Amin akan mengakui dan mengikutinya. Boleh jadi karena kealiman dan
ketelitiannya dalam majelis-majelis seperti itu, kiai Amin hampir selalu
ditunjuk sebagai salah satu tim perumus.
Kiai Amin yang pernah menjabat sebagai
Kepala Pengadilan Agama dan hingga meninggal menjabat sebagai orang pertama di
NU Wilayah dan di Majelis Ulama Indonesia Jawa Tengah, juga seorang tokoh yang
tawaduk. Beliau sudi dengan sabar mendengarkan pendapat orang lain, meski
datangnya dari orang-orang yang lebih muda.
Tidak seperti kebanyakan pemimpin yang
lain, Kiai Amin tidak hanya duduk-duduk saja di meja pimpinan sambil memberikan
instruksi-instruksi. Tapi dia langsung terjun ke bawah, mendatangi umatnya
dengan kesetiaan yang luar biasa. Kepada umatnya, dia berusaha sekuat tenaga
untuk memberikan pendidikan akhlak dan menjawab tanda-tanda tanya yang
akhir-akhir ini banyak meresahkan mereka.
Dan semua itu dia lakukan dengan kasih
sayang yang membawa kesejukan dan ketenteraman. Salah satu ungkapannya yang
masih diingat santri-santrinya adalah ucapannya yang dinyatakan dengan nada
kelakar, "Lebih baik bodoh ketimbang pandai tapi tidak bermoral."
Perjuangan Kiai Amin Sholeh patut
dijadikan teladan. PNS Depag Jepara itu pernah duduk sebagai Rais Syuriah PWNU
Jateng tiga periode berturut-turut hingga wafat tahun 2002 di usia 71 tahun dan
ketua MUI Jateng.
Ketawadukan dan
tanggung jawabnya dikenang Ali Mufiz. ''Saya kenal beliau sejak 1990.
Ketawadukan dan tanggung jawabnya luar biasa. Dia juga sangat perhatian
terhadap pendidikan,'' tutur Ali Mufiz. Beliau teringat Kiai Amin saat
menghadiri acara di Kodam IV/Diponegoro. ''Beliau tidak berkenan duduk di
depan, meski seorang tokoh. Beliau tidak menduduki kursi kecuali kursi itu untuknya.
KH. A Mustofa Bisri (Gus
Mus) juga pernah menulis tentang kiai Amin. Beliau menganggap kiai amin adalah Kiai yang Tak Neka-neka dan Sederhana. Gus Dur pun mengakui sifat-sifat terpuji Kiai Amin, dan menyatakan sedikit
orang yang bisa memegang tanggung jawab seperti ulama tersebut.
Kiai Amin yang lahir di
Tayu, Pati, kini meninggalkan madrasah, mulai MI, MTs, dan MA Hasyim Asyari di
Bangsri yang kini memiliki +2.000 santri.
Biografi Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gud Dur)
1.
Biografi Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gud Dur).
Mantan Presiden Keempat
Indonesia ini lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dari pasangan
Wahid Hasyim dan Solichah. Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan
pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI setelah
dipilih MPR hasil Pemilu 1999.
Beliau menjabat
Presiden RI dari 20 Oktober 1999 hingga Sidang Istimewa MPR 2001. Beliau lahir
dengan nama Abdurrahman Addakhil atau "Sang Penakluk", dan kemudian
lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan
kehormatan khas pesantren kepada anak kiai.
Gus Dur adalah putra
pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam
komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah
pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syamsuri,
adalah pengajar pesantren.
Ayah Gus Dur, KH Wahid
Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada 1949.
Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Setelah deklarasi
kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan
tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Akhir
1949, dia pindah ke Jakarta setelah ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Dia
belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.
Gus Dur juga diajarkan
membaca buku non Islam, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas
pengetahuannya. Pada April 1953, ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan
mobil.
Pendidikannya berlanjut
pada 1954 di Sekolah Menengah Pertama dan tidak naik kelas, tetapi bukan karena
persoalan intelektual. Ibunya lalu mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan
pendidikan. Pada 1957, setelah lulus SMP, dia pindah ke Magelang untuk belajar
di Pesantren Tegalrejo. Beliau mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat,
menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat
tahun).
Pada 1959, Gus Dur
pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang dan mendapatkan pekerjaan pertamanya
sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan Horizon dan
Majalah Budaya Jaya. Pada 1963, Wahid menerima beasiswa dari Departemen Agama
untuk belajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, namun tidak
menyelesaikannya karena kekritisan pikirannya. Gus Dur lalu belajar di
Universitas Baghdad. Meskipun awalnya lalai, Gus Dur bisa menyelesaikan
pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970.
Beliau pergi ke Belanda
untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi
kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui di sini. Gus Dur lalu
pergi ke Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971.
Gus Dur kembali ke Jakarta
dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan
Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif
dan sosial demokrat.
LP3ES mendirikan
majalah Prisma di mana Gus Dur menjadi salah satu kontributor utamanya dan
sering berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Saat inilah beliau memprihatinkan
kondisi pesantren karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur
akibat perubahan dan kemiskinan pesantren yang beliau lihat.
Beliau kemudian batal
belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren. KH.Abdurrahman
Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk Tempo dan Kompas.
Artikelnya diterima baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator
sosial.
Dengan popularitas itu,
ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, sehingga
dia harus pulang-pergi Jakarta dan Jombang. Pada 1974, Gus Dur mendapat
pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas. Satu tahun
kemudian, Gus Dur menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.
Pada 1977, dia
bergabung di Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktik dan
Kepercayaan Islam, dengan mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat
Islam dan misiologi.
Beliau lalu diminta
berperan aktif menjalankan NU dan ditolaknya. Namun, Gus Dur akhirnya menerima
setelah kakeknya, Bisri Syansuri, membujuknya. Karena mengambil pekerjaan ini,
Gus Dur juga memilih pindah dari Jombang ke Jakarta.
Abdurrahman Wahid mendapat
pengalaman politik pertamanya pada pemilihan umum legislatif 1982, saat
berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan empat partai
Islam termasuk NU.
1. Reformasi NU
NU membentuk Tim Tujuh
(termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan
kembali NU. Pada 2 Mei 1982, para pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU
Idham Chalid dan memintanya mengundurkan diri. Namun, pada 6 Mei 1982, Gus Dur
menyebut pilihan Idham untuk mundur tidak konstitusionil.
Gus Dur mengimbau Idham
tidak mundur. Pada 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa
jabatan keempat oleh MPR dan mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila
sebagai ideologi negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi
bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu
ini.
Gus Dur lalu
menyimpulkan NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih
menghidupkan kembali NU, dia mengundurkan diri dari PPP dan partai politik agar
NU fokus pada masalah sosial. Pada Musyawarah Nasional NU 1984, Gus Dur
dinominasikan sebagai ketua PBNU dan dia menerimanya dengan syarat mendapat
wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan bekerja di bawahnya.
Terpilihnya Gus Dur
dilihat positif oleh Suharto. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan
dengan citra moderatnya menjadikannya disukai pemerintah. Pada 1987, dia
mempertahankan dukungan kepada rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan
umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar. Ia menjadi anggota MPR dari
Golkar. Meskipun disukai rezim, Gus Dur acap mengkritik pemerintah, diantaranya
proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai Bank Dunia. Ini merenggangkan hubungannya
dengan pemerintah dan Suharto.
Selama masa jabatan
pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil
meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga menandingi sekolah
sekular. Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua PBNU pada
Musyawarah Nasional 1989. Saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran
politik dengan ABRI, berusaha menarik simpati Muslim.
Pada Desember 1990,
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati
intelektual muslim di bawah dukungan Soeharto dan diketuai BJ Habibie. Pada
1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung, tapi ditolaknya karena
dianggap sektarian dan hanya membuat Soeharto kian kuat.
Bahkan pada 1991, Gus
Dur melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi terdiri dari 45
intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Pada Maret 1992, Gus
Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66
dan merencanakan acara itu dihadiri paling sedikit satu juta anggota NU.
Soeharto menghalangi
acara tersebut dengan memerintahkan polisi mengusir bus berisi anggota NU
begitu tiba di Jakarta. Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto
menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka,
adil dan toleran.
Menjelang Musyawarah
Nasional 1994, Gus Dur menominasikan diri untuk masa jabatan ketiga. Kali ini
Soeharto menentangnya. Para pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko,
berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur.
3.
Penghargaan Gusdur
Pada 1993, Gus Dur
menerima Ramon Magsaysay Award, penghargaan cukup prestisius untuk kategori
kepemimpinan sosial. Dia ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh
beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, pada 10
Maret 2004. Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif
Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis dinilai
memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan
berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia.
Beliau mendapat
penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di
bidang penegakan HAM karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli
persoalan HAM. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor
di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas.
Beliau juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan namanya
diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic
Study.
Gus Dur memperoleh
banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lebaga
pendidikan, yaitu:
• Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan
dari Netanya University, Israel (2003)
• Doktor Kehormatan bidang Hukum dari
Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
• Doktor Kehormatan dari Sun Moon
University, Seoul, Korea Selatan (2003)
• Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai
University, Tokyo, Jepang (2002)
• Doktor Kehormatan bidang Filsafat
Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
• Doktor Kehormatan dari Asian
Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
• Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum
dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon
Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
• Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn
University, Bangkok, Thailand (2000)
• Doktor Kehormatan dari Twente
University, Belanda (2000)
• Doktor Kehormatan dari Jawaharlal
Nehru University, India (2000)
Langganan:
Postingan
(
Atom
)