Sabtu, 26 Maret 2016

Walisongo Itu Ada Dan Nyata

Tidak ada komentar :
Walisongo atau walisanga dikenal sebagai penyebar agama islam di tanah jawa pada abad ke-14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara pulau Jawa. Yaitu Surabaya, Gresik, Lamongan, Tuban di Jawa Timur, Demak, Kudus, Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.

Era walisongo adalah era berahirnya masa Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.

Pada saat ini banyak orang menganggap walisongo sudah ”mati”. Hal itu memang benar terjadi, tapi sesungguhnya para kekasih Allah tidaklah mati, mereka hanya meninggalkan wujud fisik yang fana, tetapi jiwa mereka abadi.

Al Qur’an dalam surat Ali Imron ayat ke 169 menegaskan :
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
 “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati. bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.”

Kisah tentang “kehidupan” para wali yang sudah meninggal ini bisa diantaranya dialami oleh Gus Dur yang sering berkomunikasi dengan sejumlah wali yang telah lama meninggal, diantaranya dengan Sunan Gunung Jati.

Mantan sekretaris jenderal PBNU H.Arifin Junaidi mengisahkan, suatu ketika, ia dherekke Gus Dur ke Cirebon untuk bertemu dengan KH Fuad Hasyim, pengasuh pesantren Buntet. Usai pertemuan yang berlangsung sampai larut malam tersebut, mereka bergerak menuju Pekalongan untuk mengunjungi Habib Lutfi bin Yahya.

Di tengah perjalanan, tepatnya di daerah Losari, sekitar pukul 1 malam. Gus Dur meminta sopirnya untuk kembali lagi, menuju ke makam Sunan Gunung Jati yang berada di kompleks Astana Gunung Sembung Cirebon.
“Saya baru saja dipanggil Sunan Gunung Jati” kata Gus Dur menjelaskan alasannya kembali ke Cirebon.

Anggota rombongan yang lain semuanya terdiam saja, tanpa komentar. Dan perjalanan pun berlanjut sampai di kompleks makam. Herannya, ditengah malam buta tersebut, para juru kunci yang ada semuanya berkumpul, lengkap, menyambut kedatangan Gus Dur tersebut dengan memakai seragam kebesarannya yang biasa dipakai ketika menerima tamu istimewa, seolah-olah sudah ada yang memberi tahu, padahal waktu itu belum ada HP sebagai alat komunikasi yang canggih.

Mereka pun langsung menuju pemakaman. Sebagaimana tradisi Nahdliyin, ketika berziarah, mereka pun memanjatkan dzikir dan tahlil serta mendoakan Sunan Gunung Jati yang telah berjasa menyebarkan Islam di Jawa Barat.

Usai tahlil, Gus Dur tertunduk dan diam saja. Ia lalu keluar dari ruangan tempat dzikir menuju halaman. Arifin masih penasaran kok para juru kunci sudah pada siap menerima kunjungan Gus Dur, padahal sebelumnya tidak ada rencana berziarah.

Ia lalu bertanya kepada seseorang tentang kejadian ini. “Kok sudah pada siap dan siapa yang memberi tahu?” Dijawabnya, semua juru kunci dibangunkan malam-malam itu juga oleh koordinatornya, dan disuruh bersiap oleh Kanjeng Sunan dengan pesan “Cucuku mau datang ke sini.”Ia pun hanya bisa manggut-manggut keheranan akan fenomena luar biasa ini.

Setelah dirasa cukup ziarahnya, mereka pun kembali melanjutkan perjalanan ke Pekalongan sebagaimana rencana semula. Karena masih penasaran, ia lalu bertanya kepada Gus Dur, kapan dipanggil oleh Sunan Gunung Jati.

“Ya tadi, waktu perjalanan baru dipanggil, disuruh mampir. Ke Cirebon kok ngak mampir.”
Gus Dur juga menjelaskan, waktu dirinya terdiam seusai tahlil, ia sedang berdialog dengan Sunan Gunung Jati, membincangkan berbagai masalah yang dihadapi oleh umat.


Jadi, hal tersebut menjadi salah satu bukti bahwa para kekasih Allah mati meninggalkan wujud fisik yang fana, tetapi jiwa mereka abadi.

Jumat, 25 Maret 2016

Ilmu Dunia, Engkau Lebih Paham

Tidak ada komentar :
Untuk ilmu dunia, engkau lebih paham. Beda dengan ilmu agama, kita harus bertanya pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Seringkali kita mendengar pertanyaan, mengapa harus dibeda-bedakan antara ilmu syar’i dengan ilmu dunia? Bukankah keduanya berasal dan bersumber dari ilmu Allah Ta’ala? Bukankah ilmu dunia juga penting dipelajari untuk kemaslahatan kaum muslimin? Demikian pula kita dapati sebagian orang yang menyampaikan dalil-dalil tentang keutamaan ilmu, baik dalil Al-Qur’an maupun As-Sunnah, namun untuk mendorong orang agar semangat belajar dan meraih ilmu dunia.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih tahu tentang ilmu dunia dibandingkan para shahabatnya.

Di antara buktinya adalah hadits dari Anas tentang mengawinkan kurma. Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sahabatnya yang sedang mengawinkan kurma. Lalu beliau bertanya, “Apa ini?” Para sahabat menjawab, “Dengan begini, kurma jadi baik, wahai Rasulullah!” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,

لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ
“Seandainya kalian tidak melakukan seperti itu pun, niscaya kurma itu tetaplah bagus.” Setelah beliau berkata seperti itu, mereka lalu tidak mengawinkan kurma lagi, namun kurmanya justru menjadi jelek. Ketika melihat hasilnya seperti itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

مَا لِنَخْلِكُمْ
“Kenapa kurma itu bisa jadi jelek seperti ini?” Kata mereka, “Wahai Rasulullah, Engkau telah berkata kepada kita begini dan begitu…” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” (HR. Muslim, no. 2363)

Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih tahu tentang ilmu pengobatan.
عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: مَرِضْتُ مَرَضًا أَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ ثَدْيَيَّ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَهَا عَلَى فُؤَادِي فَقَالَ: «إِنَّكَ رَجُلٌ مَفْئُودٌ، ائْتِ الْحَارِثَ بْنَ كَلَدَةَ أَخَا ثَقِيفٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ يَتَطَبَّبُ فَلْيَأْخُذْ سَبْعَ تَمَرَاتٍ مِنْ عَجْوَةِ الْمَدِينَةِ فَلْيَجَأْهُنَّ بِنَوَاهُنَّ ثُمَّ لِيَلُدَّكَ بِهِنَّ
“Dari sahabat Sa’ad mengisahkan, pada suatu hari aku menderita sakit, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku, beliau meletakkan tangannya di tengah dadaku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Engkau menderita penyakit jantung. Temuilah Al-Harits bin Kaladah dari Bani Tsaqif, karena sesungguhnya dia adalah seorang tabib (dokter). Dan hendaknya dia (Al-Harits bin Kaladah) mengambil tujuh buah kurma ‘ajwah, kemudian ditumbuk beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya.” (HR. Abu Daud, no. 3875. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if)

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui ramuan obat apa yang sebaiknya diminum. Akan tetapi beliau meminta sahabat Sa’ad radhiyallahu ‘anhu agar membawanya ke Al-Harits bin Kaladah karena ia adalah seorang dokter kala itu.

Hal ini karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengetahui ramuan obat secara umum saja. Adapun Al-Harits bin Kaladah, sebagai seorang dokter, ia mengetahui lebih detail komposisi, cara meracik, kombinasi dan indikasinya.

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih tahu dibandingkan para sahabatnya tentang ilmu dunia.

Andai saja, kalau yang dimaksud dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang keutamaan ilmu dan pahala bagi para penuntut ilmu adalah ilmu dunia, lalu bagaimana mungkinRasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjadi yang terdepan dalam hal ini? Dan justru kalah dari para shahabatnya?


* Diambil dari buku “Mahasantri” karya M. Abduh Tuasikal dan M. Saifudin Hakim, yang diterbitkan oleh Pustaka Muslim

Bagaimana Engkau Memandang Gurumu?

Tidak ada komentar :
Secara etimologis, guru sering disebut pendidik. Dalam bahasa arab, ada beberapa kata yang menunjukan profesi ini seperti, mudarris, mua’allim, murabbidan mu’addib, yang meski memiliki makna yang sama, namun masing-masing mempunyai karakteristik  yang berbeda. Disamping kata-kata tersebut, juga sering digunakan kata ustadz atau syaikh.

 Penyebutan ini tidak terlepas dari rekomendasi Konferensi Pendidikan Internasional di Makkah pada tahun 1977, yang antara lain merekomendaikan bahwa pengertian pendidikan mencakup tiga pengertian, yaitutarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Maka pengertian guru atau pendidik mencakupmurabbi, mu’allim dan mu’addib.

Pengertian Murabbi mengisyaratkan bahwa guru adalah orang yang memiliki sifat rabbani, artinya orang yang bijaksana, bertanggungjawab, berkasih sayang terhadap siswa dan mempunyai pengetahuan tentang rabb. Dalam pengertianmu’allim, ia mengandung arti bahwa guru adalah orang berilmu yang tidak hanya menguasai ilmu secara teoretik tetapi mempunyai komitmen yang tinggi dalam mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sedangkan dalam konsep ta’dib, terkandung pengertian integrasi antara ilmu dan amal sekaligus.

Secara terminologi, guru sering diartikan sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan siswa dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi (fithrah) siswa, baik potensi kignitif, potensi apektif, maupun potensi psikomotorik. Guru juga berarti orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan pertolongan pada siswa dalam perkembangan jasmani dan rohaninya agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri memenuhi tugasnya sebagai hamba (‘abd) dan khalifah Allah (khalifatullah) dan mampu sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individual yang mandiri.

Lalu bagaimana sesorang siswa/santri memandang gurunya?

Al Imam Ali bin Hasan al Aththas mngatakan :
ﺍﻥ ﺍﻟﻤﺤﺼﻮﻝ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﺍﻟﻔﺘﺢ ﻭﺍﻟﻨﻮﺭ ﺍﻋﻨﻲ ﺍﻟﻜﺸﻒ ﻟﻠﺤﺠﺐ، ﻋﻠﻰ ﻗﺪﺭ ﺍﻻﺩﺏ ﻣﻊ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻭﻋﻠﻰ ﻗﺪﺭ ﻣﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﻛﺒﺮ ﻣﻘﺪﺍﺭﻩ ﻋﻨﺪﻙ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻚ ﺫﺍﻟﻚ ﺍﻟﻤﻘﺪﺍﺭ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺷﻚ
" Memperoleh ilmu, futuh dan cahaya (maksudnya terbukanya hijab2 batinnya), adalah sesuai kadar adabmu bersama gurumu. Kadar besarnya gurumu di hatimu, maka demikian pula kadar besarnya dirimu di sisi Allah tanpa ragu ".(al Manhaj as Sawiy : 217)

Imam Nawawi ketika hendak belajar kepada gurunya, beliau selalu bersedekah di perjalanan dan berdoa, " Ya Allah, tutuplah dariku kekurangan guruku, hingga mataku tidak melihat kekurangannya dan tidak seorangpun yg menyampaikan kekurangan guruku kepadaku ". (Lawaqih al Anwaar al Qudsiyyah : 155)

Beliau pernah mengatakan dalam kitab At Tahdzibnya :
ﻋﻘﻮﻕ ﺍﻟﻮﺍﻟﺪﻳﻦ ﺗﻤﺤﻮﻩ ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ ﻭﻋﻘﻮﻕ ﺍﻻﺳﺘﺎﺫﻳﻦ ﻻ ﻳﻤﺤﻮﻩ ﺷﻲﺀ ﺍﻟﺒﺘﺔ
" Durhaka kepada orang tua dosanya bisa hapus oleh taubat, tapi durhaka kepada ustadzmu tidak ada satupun yg dapat menghapusnya ".

Habib Abdullah al Haddad mengatakan " Paling bahayanya bagi seorang murid, adalah berubahnya hati gurunya kepadanya. Seandainya seluruh wali dari timur dan barat ingin memperbaiki keadaan si murid itu, niscaya tidak akan mampu kecuali gurunya telah ridha kembali ". (Adaab Suluk al Murid : 54)

Seorang murid sedang menyapu madrasah gurunya, tiba2 Nabi Khidir mendatanginya. Murid itu tidak sedikitpun menoleh dan mengajak bicara nabi Khudhir. Maka nabi Khidhir berkata, " Tidakkah kau mengenalku ?. Murid itu menjawab, " ya aku mengenalmu, engkau adalah Abul Abbas al Khidhir ".
Nabi Khidhir, " kenapa kamu tidak meminta sesuatu dariku ?".
Murid itu menjawab, " Guruku sudah cukup bagiku, tidak tersisa satupun hajat kepadamu ". (Kalam al Habib Idrus al Habsyi : 78)

Al Habib Abdullah al Haddad berkata, " Tidak sepatutnya bagi penuntut ilmu mengatakan pada gurunya, " perintahkan aku ini, berikan aku ini !", karena itu sama saja menuntut untuk dirinya. Tapi sebaiknya dia seperti mayat di hadapan orang yg memandikannya ". (Ghoyah al Qashd wa al Murad : 2/177)

Para ulama ahli hikmah mengatakan, " Barangsiapa yang mengatakan " kenapa ?" Kepada gurunya, maka dia tidak akan bahagia selamanya ". (Al Fataawa al Hadiitsiyyah : 56)
Para ulama hakikat mengatakan, " 70% ilmu itu diperoleh sebab kuatnya hubungan ( batin,adab dan baik sangka )antara murid dengan gurunya ".

Semoga kita semua termasuk murid yang baik dan mendapat berkah dari guru kita
اللهم آمين

Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri

Tidak ada komentar :
Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri, terletak di tengah-tengah pemukiman penduduk di kota Jepara kecamatan Bangsri. Pesantren ini didirikan pada tahun 1956 oleh KH. Mc. Amin Sholeh, setelah wafatnya beliau pada 19 November 2002 M, ponpes dipimpin secara kolektif oleh Hj. Aizzah Amin Sholeh, KH Nuruddin Amin, S.Ag, Hj. Hindun Annisah, MA, H. Zainal Umam, Lc, dan Ikfina Maufuriyah, SS.

Jumlah santrinya saat ini ada 1.760 orang. Dengan perincian siswa MA, putra 384 santri, putri 502 santri, siswa MTs putra 374 santri, putri 876 santri. Sedangkan jumlah santri mukim adalah: putra 73 santri, putri 98 santri, jumlah totalnya 171 santri. Tenaga pendidik/ustadz/ustadzah-nya berjumlah 135 orang. 

Semua santri tidak bermukim dikarenakan lahan pesantren yang tidak besar dan luas. Maka sebagian dari santri tinggal di pesantren-pesantren yang ada di sekitar Pon Pes Hasyim Asy’ari.

Pondok pesantren Hasyim Asy’ari mempunyai dua cabang, yaitu HA cabang PUSAT yang bertempat di kompleks Mts Hasyim Asy’ari diasuh oleh KH. Zaenal Umam, Lc dan HA cabang JOGLO (khusus putri) yang baru di bangun pada 2012 . Bertempat di sebelah barat MA Hasyim Asy’ari diasuh langsung oleh kakaknya KH Nuruddin Amin (Gus Nung).

Sebagai pesantren yang cukup tua dan disegani, pesantren ini cukup berpengaruh di wilayah Kabupaten Jepara dan sekitarnya. Hal itu ditambah dengan kedudukan almarhum KH.Mc Amin Sholeh yang pernah menjadi Rois Syuriah PW NU Jawa Tengah dan Ketua MUI Jateng serta kedudukan KH Nuruddin Amin (Gus Nung) yang pernah menjaadi Ketua Umum PC NU Jepara. Serta ketua DPC PKB kabupaten Jepara sekarang ini.

Tidak heran, jika banyak pejabat tinggi dan tokoh pemerintahan yang sowan dan minta doa restu ke pimpinan pesantren ini. Bahkan, dalam beberapa kali kesempatan, beberapa menteri Republik Indonesia datang ke pesantren ini. Menteri Agama RI, juga pernah datang ke pesantren ini untuk meresmikan gedung Madrasah Aliyah, begitu juga dengan Menteri Koperasi dan UKM.

Untuk pengeluaran dan pemasukan rutin per bulan, pesantren ini tidak terlalu menekankan pendapatan dari pemasukan atau iuran wajib para santri. Biaya yang dibebankan untuk santri putra adalah Rp 40.000,- per bulan sebagai ganti biaya listrik, sedangkan untuk makan dan minum, mereka dipersilahkan untuk membeli sendiri di kantin pesantren atau di luar.

Sedangkan untuk santri putri, selain iuran listrik yang Rp 40.000,-, ditambah lagi dengan biaya makan sebesar Rp 135.000,-. Untuk santri putri memang diwajibkan untuk makan di pesantren. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi agar mereka waktunya tidak habis untuk mencari makanan di luar dan agar lebih konsentrasi belajar.

Model pembelajaran yang diadakan di pesantren ini ada semi modern. Artinya, tetap ada sistem sorogan dan bandongan di pagi hari dan malam hari dengan mengaji Al-Qur’an, tapi para santrinya juga mengikuti pendidikan di tingkat MTs dan MA. Untuk kelas pagi hari setelah Shubuh, diadakan pengajian kitab yang wajib diikuti oleh para santri.

Kitab-kitab yang dikaji adalah: Irsyadul Ibad yang dibawakan oleh KH. Nuruddin Amin, Fiqhun Nisa’ oleh Hj. Hindun Anisah, danTafsir Jalalain oleh H. Zaenal Umam, Lc. Selain itu, juga diadakan pengajian sorogan Al-Qur’an dibawah bimbingan Hj. Azizah Amin yang merupakan Ibunda dari KH Nuruddin Amin, serta program tahfidzul qur’an yang diasuh oleh Hj. Hindun Anisah,dan Ikfina Maufuriyah SS bagi santri putri, dan Ustadz Ahmad  Mutohar, Ustadz Mushonnif serta Ustadz Hayat Misbah bagi santri laki-laki.

Setelah usai pelajaran di MTs dan MA, para santri juga diwajibkan untuk mengikuti Madrasah Diniyyah. Untuk kurikulum Madrasah Diniyyah ini, pesantren Hasyim Asy’ari tidak mengikuti kurikulum yang diberikan Depag secara penuh, tapi ada modifikasi dan tambahan-tambahan yang bermanfaat untuk kemajuan santri. Mengingat pada kebutuhan keilmuan santrilah yang membuat para pengasuh PP Hasyim Asy’ari untuk membuat kurikulum tersendiri.

Pesantren ini juga sangat dekat dengan masyarakat setempat, mereka sengaja tidak membangun masjid sendiri karena untuk menghindari eklusifitas. Untuk beribadah, mereka bersama-sama dengan masyarakat menggunakan Masjid Besar An-Nur yang berada di sebelah barat pesantren. Di masjid inilah, banyak aktifitas santri yang dilakukan, mulai dari pengajian Al-Qur’an, Kitab-kitab salaf, hingga semaan dan tahlilan.

Bahkan untuk melatih para santri mambaca Diba’, Barjanzi juga bersama-sama dengan masyarakat di masjid besar An-Nur bangsri. Pengajian rutin juga diadakan di masjid ini, yang kadang-kadang diisi oleh pimpinan dan ustadz pesantren juga. Pesantren juga sering dilibatkan dalam kegiatan kemasyarakatan dan sebaliknya pesantren juga sering melibatkan masyarakat dalam kegiatan pesantren. Usaha saling membantu dan bekerjasama mereka lakukan dalam bentuk-bentuk kegiatan seperti: keagamaan, rapat desa, kerja bakti, pengajian, bersih desa, dan gotong royong lainnya.

Pesantren ini juga aktif membangun hubungan dengan pesantren lainnya. Bersama-sama dengan pesantren sekitar dan pesantren luar daerah, mereka berusaha memperjuangkan agar pendidikan umat Islam maju dan mendapatkan perhatian dari masyarakat lain, baik Pemda maupun tokoh lainnya. Pesantren ini juga aktif mengikuti kegiatan Bahtsul Masail baik di tingkat NU Cabang Jepara maupun di tingkat PW NU Jawa Tengah.

Pondok pesantren Hasyim Asy’ari juga mendirikan sekolah-sekolah formal untuk para santri dan juga masyarakat sekitar, mulai dari PAUD Averrous, MTs serta MA. Adapun MA Hasyim Asy’ari mamiliki beberapa jurusan seperti MAK (jurusan yang bahasa pengantarnya memakai bahasa arab, Imersi (jurusan yang bahasa pengantarnya memakai bahasa inggris untuk 7 mata pelajaran (Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Sejarah, Geografi dan Ekonomi)), jurusan IPA dan juga IPS. Selain pendidikan, PP. Hasyim Asy’ari juga mengelola badan usaha yaitu Koperasi Al-Barokah.




*dikutip dari berbagai sumber

Mengenal Lebih Dalam KH.Mc Amin Sholeh Bangsri

Tidak ada komentar :
KH.Mc Amin Sholeh yang disapa “Abah” oleh para santrinya itu lahir Tayu, Pati 20 April 1931. Kiai Amin adalah salah seorang putra Kiai Saleh yang sangat terkenal di kalangan ulama terutama di Jawa Tengah, yaitu KH.Sholeh Amin Tayu. Namun tidak seperti kebanyakan putra kiai terkenal yang lain, Kiai Amin tidak pernah diceritakan mempunyai sikap yang neka-neka. Dia memang contoh kiai sederhana yang "lurus-lurus" saja. Attawassuth wal i'tidaal, sikap sederhana dan jejeg seperti digariskan Khittah Nahdlatul Ulama, dijalaninya secara murni dan konsekuen.

Ketika masih nyantri di Lasem, Kiai Amin Sholeh tidak mondok di pesantren milik Kiai Baidlowi, tapi kiai sepuh karismatik itu menyuruhnya mulang (ngajar) di pesantrennya. Begitu kisah Kiai Maemoen Zubeir yang ketika itu sama-sama nyantri di Lasem saat memberi mau'idhah hasanah pada upacara pelepasan jenazah Rais NU Wilayah dan Ketua MUI Jawa Tengah itu di hadapan ribuan pelayat.

Mbah Baidlowi Lasem, bersama Mbah Maksum, adalah tokoh kiai sepuh yang sangat disegani, karena ilmu dan amaliahnya. Kiai yang sangat dihormati para kiai lain tidak hanya di Jawa Tengah saja itu meminta Kiai Amin (yang notabene waktu itu masih berstatus nyantri) untuk mengajar di pesantrennya, sudah bisa menunjukkan kapasitas keilmuan tokoh sederhana dari Bangsri itu.

Di banyak konferensi dan muktamar, beliau selalu aktif mengikuti acara-acaranya. Biasanya beliau selalu hadir dan berperan di arena Bahtsul Masail, majelis yang membahas pertanyaan-pertanyaan masyarakat. Di arena seperti itu, Kiai Amin kelihatan mencolok karena vokalnya dalam menyampaikan pendapat dan argumentasi.

Beliau akan mempertahankan pendapatnya sesuai dengan hujjah yang dimilikinya namun tidak ngotot. Apabila ada kiai lain yang hujjah-nya dianggap lebih kuat, dengan kesatria kiai Amin akan mengakui dan mengikutinya. Boleh jadi karena kealiman dan ketelitiannya dalam majelis-majelis seperti itu, kiai Amin hampir selalu ditunjuk sebagai salah satu tim perumus.

Kiai Amin yang pernah menjabat sebagai Kepala Pengadilan Agama dan hingga meninggal menjabat sebagai orang pertama di NU Wilayah dan di Majelis Ulama Indonesia Jawa Tengah, juga seorang tokoh yang tawaduk. Beliau sudi dengan sabar mendengarkan pendapat orang lain, meski datangnya dari orang-orang yang lebih muda.

Tidak seperti kebanyakan pemimpin yang lain, Kiai Amin tidak hanya duduk-duduk saja di meja pimpinan sambil memberikan instruksi-instruksi. Tapi dia langsung terjun ke bawah, mendatangi umatnya dengan kesetiaan yang luar biasa. Kepada umatnya, dia berusaha sekuat tenaga untuk memberikan pendidikan akhlak dan menjawab tanda-tanda tanya yang akhir-akhir ini banyak meresahkan mereka.

Dan semua itu dia lakukan dengan kasih sayang yang membawa kesejukan dan ketenteraman. Salah satu ungkapannya yang masih diingat santri-santrinya adalah ucapannya yang dinyatakan dengan nada kelakar, "Lebih baik bodoh ketimbang pandai tapi tidak bermoral."

Perjuangan Kiai Amin Sholeh patut dijadikan teladan. PNS Depag Jepara itu pernah duduk sebagai Rais Syuriah PWNU Jateng tiga periode berturut-turut hingga wafat tahun 2002 di usia 71 tahun dan ketua MUI Jateng.

Ketawadukan dan tanggung jawabnya dikenang Ali Mufiz. ''Saya kenal beliau sejak 1990. Ketawadukan dan tanggung jawabnya luar biasa. Dia juga sangat perhatian terhadap pendidikan,'' tutur Ali Mufiz. Beliau teringat Kiai Amin saat menghadiri acara di Kodam IV/Diponegoro. ''Beliau tidak berkenan duduk di depan, meski seorang tokoh. Beliau tidak menduduki kursi kecuali kursi itu untuknya.

KH. A Mustofa Bisri (Gus Mus) juga pernah menulis tentang kiai Amin. Beliau menganggap kiai amin adalah  Kiai yang Tak Neka-neka dan Sederhana. Gus Dur pun mengakui sifat-sifat terpuji Kiai Amin, dan menyatakan sedikit orang yang bisa memegang tanggung jawab seperti ulama tersebut.

Kiai Amin yang lahir di Tayu, Pati, kini meninggalkan madrasah, mulai MI, MTs, dan MA Hasyim Asyari di Bangsri yang kini memiliki +2.000 santri.

Biografi Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gud Dur)

Tidak ada komentar :
1. Biografi Kyai Haji Abdurrahman Wahid (Gud Dur).


Mantan Presiden Keempat Indonesia ini lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah. Guru bangsa, reformis, cendekiawan, pemikir, dan pemimpin politik ini menggantikan BJ Habibie sebagai Presiden RI setelah dipilih MPR hasil Pemilu 1999.

Beliau menjabat Presiden RI dari 20 Oktober 1999 hingga Sidang Istimewa MPR 2001. Beliau lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil atau "Sang Penakluk", dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada anak kiai.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara, dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya, KH. Hasyim Asyari, adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, KH Bisri Syamsuri, adalah pengajar pesantren.

Ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama pada 1949. Ibunya, Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Akhir 1949, dia pindah ke Jakarta setelah ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Dia belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.

Gus Dur juga diajarkan membaca buku non Islam, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Pada April 1953, ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pendidikannya berlanjut pada 1954 di Sekolah Menengah Pertama dan tidak naik kelas, tetapi bukan karena persoalan intelektual. Ibunya lalu mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan. Pada 1957, setelah lulus SMP, dia pindah ke Magelang untuk belajar di Pesantren Tegalrejo. Beliau mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun).

Pada 1959, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang dan mendapatkan pekerjaan pertamanya sebagai guru dan kepala madrasah. Gus Dur juga menjadi wartawan Horizon dan Majalah Budaya Jaya. Pada 1963, Wahid menerima beasiswa dari Departemen Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, namun tidak menyelesaikannya karena kekritisan pikirannya. Gus Dur lalu belajar di Universitas Baghdad. Meskipun awalnya lalai, Gus Dur bisa menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970.

Beliau pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya, guna belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa karena pendidikannya di Baghdad kurang diakui di sini. Gus Dur lalu pergi ke Jerman dan Prancis sebelum kembali ke Indonesia pada 1971.

Gus Dur kembali ke Jakarta dan bergabung dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat.

LP3ES mendirikan majalah Prisma di mana Gus Dur menjadi salah satu kontributor utamanya dan sering berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Saat inilah beliau memprihatinkan kondisi pesantren karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur akibat perubahan dan kemiskinan pesantren yang beliau lihat.

Beliau kemudian batal belajar luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren. KH.Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk Tempo dan Kompas. Artikelnya diterima baik dan mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial.
Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah dan seminar, sehingga dia harus pulang-pergi Jakarta dan Jombang. Pada 1974, Gus Dur mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas. Satu tahun kemudian, Gus Dur menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam.

Pada 1977, dia bergabung di Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam, dengan mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam dan misiologi.
Beliau lalu diminta berperan aktif menjalankan NU dan ditolaknya. Namun, Gus Dur akhirnya menerima setelah kakeknya, Bisri Syansuri, membujuknya. Karena mengambil pekerjaan ini, Gus Dur juga memilih pindah dari Jombang ke Jakarta.

Abdurrahman Wahid mendapat pengalaman politik pertamanya pada pemilihan umum legislatif 1982, saat berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), gabungan empat partai Islam termasuk NU.

1. Reformasi NU
   
                                  
NU membentuk Tim Tujuh (termasuk Gus Dur) untuk mengerjakan isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Pada 2 Mei 1982, para pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan memintanya mengundurkan diri. Namun, pada 6 Mei 1982, Gus Dur menyebut pilihan Idham untuk mundur tidak konstitusionil.

Gus Dur mengimbau Idham tidak mundur. Pada 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan keempat oleh MPR dan mulai mengambil langkah menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Gus Dur menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu ini.

Gus Dur lalu menyimpulkan NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, dia mengundurkan diri dari PPP dan partai politik agar NU fokus pada masalah sosial. Pada Musyawarah Nasional NU 1984, Gus Dur dinominasikan sebagai ketua PBNU dan dia menerimanya dengan syarat mendapat wewenang penuh untuk memilih pengurus yang akan bekerja di bawahnya.

Terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Suharto. Penerimaan Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya menjadikannya disukai pemerintah. Pada 1987, dia mempertahankan dukungan kepada rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar. Ia menjadi anggota MPR dari Golkar. Meskipun disukai rezim, Gus Dur acap mengkritik pemerintah, diantaranya proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai Bank Dunia. Ini merenggangkan hubungannya dengan pemerintah dan Suharto.

Selama masa jabatan pertamanya, Gus Dur fokus mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga menandingi sekolah sekular. Gus Dur terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua PBNU pada Musyawarah Nasional 1989. Saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, berusaha menarik simpati Muslim.

Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati intelektual muslim di bawah dukungan Soeharto dan diketuai BJ Habibie. Pada 1991, beberapa anggota ICMI meminta Gus Dur bergabung, tapi ditolaknya karena dianggap sektarian dan hanya membuat Soeharto kian kuat.

Bahkan pada 1991, Gus Dur melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi, organisasi terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Pada Maret 1992, Gus Dur berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan merencanakan acara itu dihadiri paling sedikit satu juta anggota NU.

Soeharto menghalangi acara tersebut dengan memerintahkan polisi mengusir bus berisi anggota NU begitu tiba di Jakarta. Gus Dur mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.

Menjelang Musyawarah Nasional 1994, Gus Dur menominasikan diri untuk masa jabatan ketiga. Kali ini Soeharto menentangnya. Para pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko, berkampanye melawan terpilihnya kembali Gus Dur.

3. Penghargaan Gusdur

Pada 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, penghargaan cukup prestisius untuk kategori kepemimpinan sosial. Dia ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, pada 10 Maret 2004. Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis dinilai memiliki semangat, visi, dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekpresi, persamaan hak, semangat keberagaman, dan demokrasi di Indonesia.

Beliau mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli persoalan HAM. Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles karena Wahid dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas. Beliau juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.

Gus Dur memperoleh banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai lebaga pendidikan, yaitu:
•           Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netanya University, Israel (2003)
•           Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003)
•           Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003)
•           Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002)
•           Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000)
•           Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000)
•           Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorborne University, Paris, Perancis (2000)
•           Doktor Kehormatan dari Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand (2000)
•           Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000)

•           Doktor Kehormatan dari Jawaharlal Nehru University, India (2000)